Disekitar tahun
1960-an, David C. Mc Clelland pernah menulis sebuah buku dengan judul ”The Achieving Society”, dalam buku itu kurang
lebih dijelaskan bahwa suatu bangsa akan mengalami kemunduran bahkan jatuh jika
mereka mengandalkan lahirnya pemimpin berdasarkan ”kenalan-kenalan”, berasal dari lingkungan internal keluarga
atau kerabat dekat lainnya. Intinya, jika mengandalkan kolusi dan nepotisme
seorang pemimpin berbakat yang dapat melakukan perubahan besar bagi
masyarakatnya akan sulit untuk lahir.
Lalu, apa yang
harus dilakukan agar pemimpin perubahan dapat hadir? Mc Clelland kemudian
menganjurkan kepada masyarakat untuk berikhtiar, mengarahkan diri pada apa yang
disebut sebagai ”achieving society”
yaitu memilih para pemimpinnya berdasarkan prestasi, kinerja dan kapabilitasnya.
Bukan berdasarkan afiliasi tertentu, kepentingan sesaat apalagi sekedar
kemampuan finansial (baca: money politics).
Agaknya, Mc Celland menyadari betul bahwa sebuah peradaban akan runtuh jika
diserahkan pada mereka yang tidak cakap, tidak amanah dan hanya berpikir jangka
pendek.
Pandangan Mc Clelland
yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber ini berargumen bahwa achieving society menjadikan motivasi berprestasi
setiap individu dalam masyarakat sebagai amunisinya. Artinya, dorongan berprestasilah
yang akan menjadi penggerak utama proses sosial kemasyarakatan. Ia ibarat pupuk
yang selalu menyirami dan mewarnai aktivitas masyarakat sehari-hari, memberi
standar kualitas hidup lebih tinggi yang tergambar dalam cara mereka bekerja,
belajar, melayani, berproduksi, berpolitik dan seterusnya.
… suatu bangsa akan
mengalami kemunduran bahkan jatuh jika
mereka mengandalkan
lahirnya pemimpin berdasarkan ”kenalan-kenalan”,
berasal dari lingkungan
internal keluarga atau kerabat dekat lainnya.
Motivasi yang
sangat internal ini diubah menjadi keyakinan
(belief) berjamaah sehingga setiap ritme kehidupan selalu terarah pada
keinginan untuk menjadi lebih baik, lebih maju dan makin beradab. Fakta inilah
yang menjadi jawaban mengapa sebuah bangsa terus mengalami kemajuan sementara
yang lain terus berkutat dengan masalah yang sama. Mereka berhasil menciptakan
para leader di bidangnya
masing-masing, dari bisnis hingga politik, dari akademisi, pengusaha dan artis.
Semua bidang kehidupan begitu maju, karena semua individu diberikan tempat
untuk menunjukkan eksistensinya. Dorongan berprestasilah yang membuat setiap individu
mendapatkan “kemerdekaan”, mereka menjadi independen karena selalu merasa
memiliki sesuatu. Tidak hidup menggelantung pada patronnya, apalagi mengandalkan
kolegaisme dengan menggadaikan harga dirinya.
Dalam sejarah,
terbukti banyak pemimpin besar lahir karena kapasitasnya bukan karena
kolegaisme, sehingga mereka mampu melakukan perubahan-perubahan besar bagi umat
manusia. Sebut saja Khalid Bin Walid panglima besar yang tak terlupakan dalam
sejarah Islam, menjadi tersohor karena prestasinya di setiap pertempuran. Dirinya
hanya dari kalangan biasa, bahkan konon khalifah pun tak pernah mengenal
sosoknya sampai semua orang membicarakan prestasinya. Bagi Khalid, independensinya
mengemban amanah dan visi besar kejayaan Islam jauh lebih penting dari pada
memperdebatkan status jabatan dan intrik kekuasaan yang ramai dikalangan elit
muslim saat itu.
Dalam sejarah
Amerika kita juga mengenal Franklin Delano Roosevelt yang menjadi satu-satunya
presiden dalam sejarah negara tersebut terpilih sebanyak empat kali. Meskipun
sempat mengalami sakit akibat diagnosa polio, dirinya tetaplah pribadi luar biasa yang terus bekerja memikirkan bangsanya hingga akhirnya mampu
membawa rakyat Amerika keluar dari depresi berat, bahkan membawa negaranya
menjadi sangat disegani dalam politik internationalnya. Prestasilah yang
membuat Roosevelt meraih kedudukan tinggi dalam sistem pemerintahan negeri
Paman Sam.
Dalam bisnis, dunia
juga mencatat prestasi seorang Tex Gunning, CEO Unilever yang sangat fenomenal
atau Andy Groove yang sanggup melambungkan Intel menjadi raksasa prosessor
hingga mampu eksis seperti saat ini. Baik Groove maupun Gunning dikenal karena
prestasinya melakukan proses transformasi yang begitu luar biasa di tempat
mereka masing-masing. Meskipun usia Gunning kala itu masih muda, namun
prestasinya me-restrukturisasi Unilever menjadi perusahaan yang lebih
kompetitif, memaksa para eksekutif tua untuk angkat topi. Demikian pula saat Groove
memutuskan pensiun dari Intel, banyak pihak merasa kehilangan, mereka tidak
rela melepas kepergiannya. Dari karyawan level bawah hingga top manajemen semua
menaruh respek padanya, mereka sangat mengagumi karakter dan prestasinya.
Beberapa contoh di
atas dapat dijadikan cermin bagi siapa saja, bahwa kepemimpinan yang menjadikan
prestasi (achieve-leadership) sebagai
basisnya adalah kata kunci bagi sebuah perubahan besar yang diharapkan
masyarakat. Kita tidak mungkin memilih pemimpin sekenanya, apalagi sekedar
menjadi pejabat untuk kepentingan golongannya. Memilih pemimpin berdasarkan
prestasi akan memperkuat dan menginspirasi masyarakat sehingga mereka dengan
sukarela menyerahkan energi positifnya, saling bersinergis untuk kesejahteraan
bersama.
Berita miring
tentang kualitas pemimpin, kesalihan yang dibuat-buat, perang terbuka para
pendukung—seperti kerap kita saksikan sekarang ini—yang terus menguras energi
semua pihak dapat diminimalisir, sebab posisi kepemimpinan diraih bukan atas
dorongan nafsuistik, titipan atau karena bayang-bayang seseorang dengan
kekuasaan yang lebih besar.
Singkatnya, kita
akan menjadi bangsa yang sangat maju jika mulai mengukur kepemimpinan bukan
lagi berdasarkan siapa yang ada dibelakang kita dan berapa banyak pundi-pundi
uang yang kita miliki untuk mendongkrak popularitas semu menjelang Pemilu, tetapi
menghargai pemimpin karena kredibilitas dan kapabilitasnya. Oleh karena itu mari
luruskan motivasi kita, tunjukkan prestasi masing-masing demi sebuah peradaban
masyarakat Indonesia yang lebih baik!
UEA Lake, 29/05/12
(sumber : www.pentastrategic.com)
0 komentar:
Posting Komentar