Bicara Ekonomi
Pancasila rasanya menjadi “anomi” saat ini, Anda seperti tampil dengan kaos
oblong di tengah hiruk-pikuk pesta dengan pakaian gemerlap. Terminologi ini
menjadi kurang populer sebab tidak lagi senapas dengan arus utama (mainstream)
pemikiran ekonomi nasional saat ini yang secara telanjang menganut paham
liberal. Andai saja para pengusung Ekonomi Pancasila bisa bangkit kembali,
mereka tentu akan meringis melihat tata kelola perekonomian kita saat ini.
Membicarakan
Ekonomi Pancasila tentu saja tidak lepas dari ideologi yang diusungnya, namun
tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperdebatkannya seperti lazim dilakukan beberapa
dekade silam oleh para ekonom sekelas Sumitro, Emil Salim, Mubyarto maupun
kritikus lainnya seperti Dawan Raharjo, Arief Budiman, dst. Walaupun perdebatan
para pakar tersebut belum pernah tuntas, satu hal yang pasti,
pemikiran-pemikiran mereka diperuntukkan bagi sebuah tatanan ideologi ekonomi
kuat yang harus dimiliki sebuah bangsa dalam mengarungi ”bahtera”
pembangunannya.
Roeslan
Abduoelgani (1962) mengemukakan sebuah ideologi dipandang sebagai sistem
pemikiran (belief system) yang diciptakan oleh suatu kekuatan (baca: bangsa)
untuk kepentingan kekuatan itu sendiri. Dari perspektif ini ideologi ekonomi
tidak ditekankan pada kebenaran-kebenaran intelektual melainkan pada
manfaat-manfaat praktikal. Pertanyaannya, mampukah ekonomi pancasila dengan perangkat
ideologisnya saat ini mengantarkan bangsa ini pada sebuah era pencerahan
ekonomi seperti diamanahkan UUD di tengah perubahan global?
Banyak pihak
menyangsikannya, apalagi setelah Letter of Intent (LoI) dengan IMF
ditandatangani 14 tahun silam. Pada momen tersebut Indonesia dengan tegas
menabuh genderang liberalisasi pada banyak sektor sehingga menimbulkan
kekisruhan ekonomi-politik yang luar biasa. Contoh paling anyar, penandatangan
perdagangan bebas China-Asean (CAFTA) tahun 2010 tanpa disertai strategi matang
sehingga mendorong penurunan produksi dalam negeri sekitar 25-50% dan penjualan
pasar domestik dan tenaga kerja sebesar 10-25% pada sembilan sektor industri
(Tekstil dan Produk Tekstil, Elektronik, Mebel Kayu dan Rotan, Permesinan, Besi
dan Baja, Makanan dan Minuman serta Jamu dan Kosmetik Mainan Anak). Beberapa
bahkan harus gulung tikar atau beralih dari produsen menjadi perakit
(Republika, 12/04/2011).
Kondisi di
atas tentu saja sangat mengenaskan, para pemilik modal yang bekerja dalam jaringan
ekonomi global akan memiliki daya tawar (bargaining power) makin kuat di tengah
geliat ekonomi masyarakat kecil yang kian terpinggirkan. Lalu, kemanakah
kekuatan ideologis ekonomi kita dalam melindungi segenap kepentingan bangsa
ini?
Ideologi tanpa ideologi
Terlepas
sistem apa yang kita anut, sebenarnya apa yang terjadi pada sistem perekonomian
kita saat ini telah disoroti banyak kalangan, selain liberalisasi yang
kebablasan, secara fundamental arahnya telah jauh melenceng dari napas
Pancasila dan UUD 45. Aktivitas perekonomian hanya diarahkan untuk memenuhi
kepentingan sesaat kelompok tertentu, jauh dari pemerataan, dan yang tentu saja
berperspektif jangka pendek.
Pembangunan
ekonomi berbasis ideologi pancasila pun menjadi isapan jempol di tengah arus
”pragmatisme-oportunisme” yang dipraktikkan oleh negara dan segenap
perangkatnya. Cara berpikir seperti ini
bahkan merasuk sangat jauh pada tatanan ekonomi-politik kita. Lihat saja,
meskipun ideologi sebuah partai dibahas siang-malam dalam kongres, namun tidak
pernah aktual. Partai dengan ideologi yang sama tidak bisa hidup berdampingan,
sebaliknya mereka justru berkoalisi dengan ideologi berbeda. Ya, kita sudah
terbiasa ber-ideologi tanpa ideologi, yang penting kepentingan!
Kondisi di
atas sebenarnya bukan hal baru bagi tatanan bernegara sebuah bangsa. Di dunia
ketiga dimana masarakatnya kurang ”terdidik” dan hidup dibawah garis
kemiskinan, daripada berdebat persoalan ideologi, mereka hanya butuh makan
untuk menyambung napas esok. Wajar jika penguasanya tidak tertarik pada basis
pembangunannya, mereka hanya ingin kekuasaannya bertahan sehingga akumulasi
materi bisa ditumpuk. Kasus negara-negara di Afrika jelas merefleksikan kondisi
ini.
Di
negara-negara yang kita kenal sebagai dedengkot komunisme pun kini tidak tahan
dengan rayuan pragmatisme yang menyerbu layaknya air bah, gelombang informasi
tidak hanya membawa keterbukaan tetapi juga ”nafsu baru” untuk memiliki segala
sesuatu secara instan. Wajar jika di Rusia dan Cina, ideologi ekonomi lebih
merupakan pajangan daripada substansi. Ideologi mereka sekarang menjadi label,
papan nama atau sejenisnya, tidak serta-merta merefleksikan perilaku mereka.
Ideologi ekonomi komunis yang dianut justru dalam praktiknya menjadi sangat
liberal, situasi ini mirip dengan pendemo di tanah air yang dengan lantang
menyuarakan anti kapitalisme, neo-kapitalisme dan sejenisnya, tapi setelah
lelah berorasi mereka mencari pedagang asongan dan berkata”Bang Coca Cola nya
dua ya...” sambil berteduh di bawah pohon.
Situasi ini
adalah gambaran telanjang betapa sebuah ideologi ekonomi yang dulunya memiliki
garis demarkasi yang tegas, kini begitu cair, begitu terbuka dan tidak serta
merta tergambar dalam perilaku sehari-hari. Betapa pun, Coca Cola adalah
simbolisme barat, ia hadir sebagai merek (brand) yang lahir di bumi Amerika,
negara pelopor utama liberalisme. Namun, Coca Cola saat ini bukan sekedar
simbol kapitalis-liberalis ekonomi, melainkan menjelma menjadi simbol
pragmatisme-budaya yang tidak mungkin dibendung. Melalui sistem bisnis yang
dikembangkannya, Coca Cola bahkan memiliki banyak ”guardian” di berbagai
belahan dunia. Selain memiliki konsumen loyal, Coca Cola telah tumbuh menjadi
industri raksasa yang mampu menghidupi ribuan buruh (yang note bene hidup
miskin) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini para buruh
akan berkata ”saya tidak perlu ideologi, saya hanya butuh makan”.
Ideologi
secara fundamental memang mensyaratkan kesetiaan tanpa kompromi, namun
keterbukaan saat ini jelas sangat berbeda. Contoh lain, beberapa waktu lalu
kita dikejutkan oleh kasus pengunduran diri seorang anggota DPR berbasis agama
karena tertangkap kamera jurnalis ”membuka” video mesum. Terlepas ini adalah
bentuk keisengan anggota dewan dalam mengusir penat karena sidang yang memang membosankan.
Video mesum adalah bentuk lain bagaimana sebuah ideologi (informasi) dapat
menyusup kemana pun dalam setiap sisi kehidupan kita (dan tentu saja sebuah
bangsa) tanpa perlu memikirkan basis ideologi apa yang mereka anut. Semua
terjadi begitu cepat seolah-olah berdiri sendiri.
Ideologi Ekonomi Substantif
Perubahan
memang terus bergulir dan apapun ideologinya gelombang ketidakpuasan pasti
terjadi jika ketimpangan sosial-ekonomi terus berlanjut. Dengan demikian
perdebatannya bukan pada tatanan ideologis lagi melainkan pada tataran praksis,
artinya apakah perilaku pembangunan mampu mensejahterakan rakyat atau tidak,
apalagi pergeseran dua kutub ideologis timur dan barat telah lama ”padamr”, di
mana kapitalisme tampil sebagai jawara. Dengan demikian cara berpikir kita
harusnya diarahkan kepada substansi bukan sekedar ideologi pajangan yang memang
tidak berarti apa-apa buat bangsa ini.
Beberapa
dekade silam Frans Seda pernah mengkritik ideologi pembangunan nasional kita
dengan ungkapan ”bukanisme”. Kritik ini diarahkan kepada para pengusung konsep
ideologi/sistem ekonomi pancasila saat itu yang kerap menggambarkan aktivitas
ekonomi nasional yang serba ”ambigu”, yaitu Indonesia bukan kapitalisme, bukan
sosialisme, tidak ada monopoli dan oligopoli serta tidak ada persaingan bebas
yang saling mematikan, tapi benarkah! Pandangan ini setidaknya memberi gambaran
kepada kita bahwa sistem pembangunan yang kita anut belum memiliki konsep
tunggal, sehingga sangat rawan untuk disalaharahkan seperti saat ini.
Ideologi pada
akhirnya tak akan pernah menunjukkan wujud ”nyata”-nya jika tidak mampu
mengatasi masalah yang dihadapi individu, masyarakat dan tentu saja negara
dalam mengarungi tantangan jaman. Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan
mengapa sebuah idelogi lambat-laun kehilangan pengikut, hanya sebatas
simbolisme formal dalam setiap seremoni kenegaraan, seperti yang kita alami
sebagai bangsa saat ini. Ia kehilangan substansinya dan mencair kemana-mana
tergantung kepentingan penguasanya. Nah, kalau begini hendak dikemanakan arah
pembangunan bangsa ini?
(sumber : www.pentastrategic.com)
0 komentar:
Posting Komentar